Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll.
Sejumlah jajak pendapat mengindikasikan semakin merosotnya popularitas Presiden Yudhoyono. Survei terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia menunjukan bahwa kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani kemiskinan dan pengangguran masing-masing hanya 26% dan 22%, dimana lebih dari 50% responden menyatakan Presiden tidak mampu. Sangatlah menarik untuk mencermati bahwa menurunnya popularitas Presiden dan kepercayaan publik terhadap pemerintah ini kemudian dibaca oleh para politisi dan pengamat sebagai isyarat bagi Presiden Yudhoyono untuk melakukan perombakan kabinet secara radikal.
Adalah fakta bahwa memang sejumlah menteri tidak memiliki kinerja yang baik, namun adalah juga fakta bahwa tuntutan perombakan kabinet tidak terlepas dari skenario politik partai-partai besar. Posisi di kabinet, bagaimanapun juga memiliki arti strategis baik secara materil maupun politis dalam menuju kontestasi politik akbar tahun 2009 nanti. Karenanya selayaknya kita membaca kecendrungan hasil jajak pendapat tersebut dalam konteks yang lebih luas. Salah satu persoalan utama bangsa ini adalah kecendrungan untuk keliru mengidentifikasi hal yang substantif dan terjebak dalam perspektif instan. Budaya untuk memecahkan persoalan secara parsial dan temporer nampaknya menjadi arus besar di tengah masyarakat. Memang harus diakui bahwa rakyat membutuhkan keputusan politik yang tegas dan jelas, namun segala keputusan politik tersebut juga harus menyentuh substansi persoalan dan memberikan dampak jangka panjang. Demokratisasi dan perbaikan nasib bangsa secara menyeluruh akan terancam secara serius jika segala permasalahan keluar dari substansinya dan diatasi secara instan, apalagi jika dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis-politis.
Substansi dari hasil jajak pendapat jelas bukanlah tuntutan perombakan kabinet, namun meningkatnya ketidakpercayaan publik atas kemampuan pemerintah dalam menjalankan fungsi utamanya untuk mensejahterakan rakyatnya. Berbagai bencana dan skandal yang terjadi akhir-akhir ini jelas mengindikasikan kelemahan mesin birokrasi dalam merespon kebutuhan masyarakat yang bergerak cepat. Karenanya, merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah semestinya dimaknai dalam perspektif yang lebih luas, yaitu sebagai peringatan keras bagi para politisi dan birokrat.bahwa proses reformasi di Indonesia ternyata belumlah sepenuhnya mengubah karakter birokrasi kita menjadi pelayan publik yang profesional. Demokratisasi akan kehilangan makna jika tanpa diiringi dengan komitmen para politisi dan pemimpin untuk membenahi birokrasi. Sebagian besar enerji para pemimpin dan politisi lebih banyak dicurahkan untuk isu-isu populis ketimbang agenda- agenda strategis jangka panjang. Padahal tidaklah mungkin agenda-agenda populis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak dapat diimplementasikan tanpa disokong instrument birokrasi yang efektif.
Pembenahan birokrasi juga harus dipahami sebagai bagian dari proses untuk mengokohkan sistem presidensil. Adalah suatu ironi bahwa disatu sisi para politisi dan pengamat sepakat untuk memperkuat sistem presidensil, namun disisi lain mereka tetap melakukan manuver-manuver politik untuk menggerogoti kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Presiden Bagi para pendukungnya, hal utama yang menjadi kelebihan dari sistem presidensil adalah stabilitas politik karena periode kepemimpinan yang relatif lebih pasti dibanding sistem parlementer. Artinya, desakan untuk bongkar pasang kabinet secara rutin bukanlah karakter utama dari sistem presidensil. Ketika Presiden sebagai pemegang mandat rakyat harus tunduk pada tekanan-tekanan politik partai, maka sesungguhnya sistem presidensil telah kehilangan ciri utamanya.
Birokrasi semestinya tidak terkooptasi oleh jaringan patronase partai politik. Pengkotak-kotakan departemen atas pertimbangan perimbangan kekuasaan cenderung akan menjadikan birokrasi sebagai alat kepentingan politik. Namun demikian secara realitas politik, adalah hal yang mustahil bagi Presiden untuk menutup pintu kabinet secara total bagi politisi partai. Kombinasi antara sistem presidensil dan multipartai yang kini dianut oleh negara kita memang mendorong terjadinya koalisi partai sebagai penyokong pemerintahan. Karena itu, pilihan yang ada mau tidak mau adalah membangun birokrasi dan sistem yang kokoh, sehingga dapat meminimalisir intervensi dari agenda politik partai pada mesin birokrasi. Bahkan di negara-negara parlementer sekalipun dimana jabatan menteri sebagai jabatan politis, frekuensi pergantian menteri yang cukup tinggi tidaklah terlalu berpengaruh pada berjalannya mesin birokrasi karena kekokohan dari sistem birokrasi di tingkat departemen.
Reformasi birokrasi juga akan terkait dengan penataan sistem kepartaian. Pelarangan rangkap jabatan menteri dan pengurus partai mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan. Pejabat birokrasi yang ikut mengurusi partai politik jelas hanya akan menjadi beban dari birokrasi. Mustahil seorang pemimpin partai dapat fokus dalam menjalankan tugas-tugas kementrian tanpa terpengaruh oleh pernak-pernih masalah organisasi partai. Sulit juga membayangkan bahwa organisasi internal partai dapat dibangun secara paruh waktu. Menimbang kompleksitas problem yang ada di setiap partai, hanyalah seorang politisi yang bekerja dalam tingkat konsentrasi yang maksimal yang selayaknya menjadi pemimpin partai. Larangan rangkap jabatan juga akan meminimalisir terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda, karena seringkali kalkulasi politis kepentingan partai masing-masing lebih dominan ketimbang agenda politik Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selama ini tidak ada aturan yang tegas dan jelas melarang perangkapan jabatan partai dan kementrian. Singkat kata, larangan perangkapan jabatan tidak saja diperlukan dalam konteks pembenahan birokrasi, tetapi juga krusial bagi proses peneguhan sistem presidensil.
Presiden sebagai kepala pemerintahan harus memimpin sendiri reformasi birokrasi secara substantif. Presiden harus berani mengambil langkah-langkah strategis yang tidak populer tetapi secara jangka panjang amatlah penting. Henry Kissinger, menteri luar negeri Amerika paling legendaris mengatakan bahwa tugas para politisi dan birokrat adalah membangun sistem yang dapat secara efektif menghadapi berbagai masalah dengan prosedur standar yang relevan dan solutif.
Sebelum tanggal 21 Mei 1998, makna reformasi jelas dan sederhana: turunkan Presiden Soeharto. Bukan hanya mahasiswa yang bersatu berjuang untuk makna reformasi itu, tetapi mereka didukung oleh hampir semua suku, agama, ideologi dan ras di Indonesia. Lebih dari itu, mereka didukung oleh pasar global, pemerintah-pemerintah negara lain dan akhirnya oleh Golkar sendiri, bersama pengkhianat Harmoko. Luar biasa dan semacam mujizat dari Tuhan bahwa kesatuan seluruh dunia terjadi supaya Presiden Soeharto bisa turun tanpa pertumpahan darah yang lebih besar. Ciri khas dari gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan Soeharto adalah tujuan dan caranya (ends and means), sama dan sederhana. Yang harus dilakukan (caranya) adalah turunkan Soeharto supaya tujuannya (Soeharto turun) tercapai.
Sekarang, sudah empat bulan, makna reformasi menjadi sangat kompleks. Tujuan dan cara tidak lagi sama dan belum ada kesepakatan, baik tentang tujuan maupun cara mencapainya. Bukan hanya oleh karena perbedaan di antara yang menekankan reformasi ekonomi dengan yang mengutamakan reformasi politik. Mungkin saja semua bisa setuju dengan reformasi yang ingin menghasilkan negara yang adil (secara politik) dan makmur (secara ekonomi). Tetapi kesepakatan itu semu. Semua pemimpin Indonesia dan juga di seluruh dunia akan setuju dengan reformasi yang indah itu. Tetapi bentuk dan struktur negara yang bagaimanakah bisa disebut adil dan ekonomi macam apa bisa disebut makmur?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar